Renjana
aksararancu
aksararancu
September, 1965
‘Ren-ja-na n rasa hati yang kuat (rindu, cinta kasih,
berahi, dan sebagainya)’
Kamus kututup dengan kasar. Lalu
menjejalkannya dengan tiada beradab kedalam ransel. Haesh, sebab aktivis senior
tadi berbicara tentang renjana, aku jadi penasaran. Dan dengan tidak malunya
membuka kamus ditengah-tengah aktivis demo yang berapi-api. Mereka berteriak:
ada yang memaki, ada yang menyemangati, ada yang menyumpah, ada yang
menyerapah. Semuanya sudah kujadikan makanan sehari-hari dalam minggu ini. Saat
aktivis yang berkoar-koar diatas podium turun, aku melangkah menjauh. Tidak
sengaja menabrak bahu seseorang, aku lantas berbalik dan meminta maaf. Ia tak
menjawab permintaan maafku, alih-alih berlalu pergi dengan cebikan dibibir. Aku
tidak suka manusia. Tapi kamu juga
manusia, malaikat diatas kepalaku memukulku dengan tongkatnya.
Matahari bagai memimpin dunia lima
meter diatas kepalaku. Aku berhenti dahulu, berteduh dibawah pohon akasia.
Almameter kusampirkan dibahu, tanganku mengibas-ngibas. Ketika melihat siapa
yang maju dan berdiri diatas podium, senyumku terangkat separo.
“Kita punya pemimpin, dan kita akui sebagai ‘bapak’
di negeri ini. Tapi bukan berarti dia punya kekuasaan absolut untuk menentukan
nasib kita! Apalagi kalau kita sadar adanya penyelewengan dan ketidakadilan.
Kita tidak bisa hanya menunggu, menunggu dan menunggu! Kita perlu perubahan!
Dan satu-satunya cara adalah Soekarno harus jatuh!” (dialog Herman Lantang di film Gie) teriaknya disambut koor
membahana dari semua aktivis demo. Aku menyeringai, tidak sadar sedari tadi
mengamatinya tanpa kedip. Lalu memalingkan muka saat ia memandangku dari
kejauhan.
Berbalik pergi tetiba aku dikagetkan bunyi tembakan
meletus diudara. Semacam gerakan melambat mirip potongan adegan di film, aku kembali berbalik dan menemukan
orang-orang lari pontang-panting kearahku. Aku terjatuh diserobot gerombolan
demo. Almameter yang kusampirkan tadi jatuh mengenaskan. Sial. Hendak memungut
almameter kebanggaan, tanganku diinjak dengan sadisnya. Aku macam semut yang
tertindas. Tetiba ada yang mengangkat lenganku dari belakang.
Kepalaku tertoleh, mendapati mata hitam dengan lautan didalamnya. Aku seakan
diajak berenang dengan pusaran air yang berputar-putar ditengahnya. Ia menepuk
pundakku dengan keras. Aku terkesiap, duniaku kembali pada orang-orang yang
berlari, tembakan-tembakan yang menyelimuti, serta debu-debu aspal dan jalanan
yang menari-nari. Lagi, letusan peluru terdengar lantang dibelakangku. Aku
kembali menoleh pada sosok yang memegangi lenganku ini. Sosok yang sama dengan
aktivis yang menyuarakan untuk Soekarno turun jabatan diatas podium tadi. Sosok
yang sama yang telah mengambil kasih sayang ibu dan ayah. Ia berucap sesuatu,
aku tidak tahu pasti, yang kudengar hanya tembakan, orang berteriak dan
hentakan kaki yang beradu dengan jalanan. Yang pasti, dalam sekian detik, sosok
ini sudah memapahku, membawaku berlari dari kejaran militer keparat itu.
Setelah
merasa jauh berlari dan militer itu tidak lagi mengejar, aku berhenti. Merasa
keki juga harus berlari-lari bersama seseorang yang dunia juga tahu betul aku
membencinya. Ia pun turut berhenti dan mulai mengatur napas. Aku mendesah lalu
mulai berjalan tanpa memedulikan napas yang tinggal satu-satu.
“Kak” ia memanggil, namun aku merasa tidak
sedang dipanggil. Sebab aku yang tiada kunjung berbalik atau sekadar menanggapi
panggilannya, ia berlari dan menahan lenganku. Aku menepis dengan kasar. Ia
memasang wajah terluka. Cih, aku tak peduli, aku tak sudi dipegang oleh orang
yang berhasil membuatku jadi begini.
“Kenapa
tidak mau pulang bersama?” tanyanya. Aku tetap mengatupkan bibir rapat. “Tidak
sudi pulang bersama seorang anak adopsi?” lanjutnya lagi. Aku membenarkan dalam
hati.
Sisa
perjalanan hanya terdengar suaranya saja yang berceloteh riang kesana-kemari.
Seakan tadi ia tidak berlari-lari sambil memapahku dari militer yang berhias
pistol. Ia terus mengoceh walau nyatanya tahu kalau akan selalu kuabaikan.
Pernah sekali aku menanggapi dengan kalimat sarkastik dan mengatainya anak
kecil. Tapi memang asalnya ia seorang aktivis demo dan dengan senang hati
menjawab, “Anak kecil mana yang berani meminta Soekarno turun jabatan, wahai
Kakakku sayang?”
Sampai
gerbang depan rumah, ia masuk terlebih dahulu. Aku diam saja. Tidak lagi
melanjutkan langkah. Selain karena si adik tiri, ibu dan ayah juga turut andil mengubah
perangaiku dalam sekejap. Ada satu lagi musabab. Kupandangi bendera merah yang
terkibar disamping pagar ini. Bendera merah dengan lambang sebilah sabit dan
palu. Bendera PKI.
*
Apabila ada yang bertanya kesedihan itu bentuk yang
bagaimana, aku dengan sepenuh hati bersedia duduk manis ditemani secangkir kopi
guna menjabarkannya. Ia adalah sebentuk perasaan gundah, tak tenang, gelisah
yang bercokol dalam hatimu. Kesedihan tidak hanya bisa disebabkan oleh cinta,
rindu atau bedebah lainnya. Bisa juga disebabkan oleh hal-hal sederhana.
Semacam aku yang sedih bila ibu lebih rela membangunkan Herman terlebih dahulu
dibandingku. Atau ayah yang lebih sudi mengantar Herman ke rumah teman
dibanding menjemputku di sekolah. Atau pun aku yang sampai sekarang masih belum
rela bila harus berbagi kasih sayang ayah dan ibu untuk adik tiriku. Sampai
rasa sedihku kian membesar tatkala aku yang kini sudah jauh dari rengkuhan ibu
pertiwi.
Aku mendadak terbangun kala ada
yang menggedor-gedor pintu dengan brutal. Hari ini masih jam satu pagi, masih
dini hari. Siapakah gerangan manusia tak punya malu yang bertandang ke rumah
orang lain pagi-pagi begini? Dengan malas aku beranjak dari kasur lalu turun
untuk membuka pintu. Ketika membuka pintu, hal pertama yang kutemukan adalah
wajah panik Herman yang pucat pasi. Ia masih menggandeng ransel dipunggungnya.
Tampilannya mencerminkan bahwa ia baru saja pulang dengan terburu-buru dari
liburan pendakian gunung bersama teman-teman kampusnya. Menelisik kebelakang,
aku menemukan Gie yang mengerutkan hidung lalu mengeratkan mantel ketubuh. Soe
Hok Gie, salah satu aktivis demo yang aktif dalam penulisan artikel untuk
mengkritik pemerintah. Aku memandang heran pada mereka berdua. Wajah panik
Herman dan muka santai Gie yang begitu kontras. Ada apakah gerangan?
“Ayah dan ibu dimana?” ia bertanya
dengan napas terburu-buru. Aku menoleh pada Gie yang malah menaikkan alis tanda
ia juga bertanya. “Dari kemarin belum pulang. Aku kira anak kesayangan
diberitahu” jawabku sambil menekankan kata ‘anak kesayangan’.
Ia mengangguk, “Sebentar lagi pasti
akan pulang dan menyuruhmu pergi”. Air mukaku praktis berubah saat mendengar
penuturannya. Lalu tanpa tedeng aling-aling, ia memegang lenganku kuat,
“Semalam, para jenderal baru saja diculik”. Melihat wajahnya yang serius, aku
tahu bahwa situasi ini lebih parah dari situasi genting.
Kepalaku
berkeliling mengabsen sekitar, menemukan
rak yang diisi buku-buku memanjang. Banyak sekali, sampai-sampai aku
dikelilingi. Aku menunduk guna menemukan
buku tebal karangan Shakespeare
tergeletak tak berdaya. Lalu aku menemukan secarik kertas di meja samping buku.
Jakarta,
September1967
Untuk Kenanga Mekarsari,
Kenanga,
bagaimana kabarmu disana? Kuharap kamu masih makan dan tidur tepat waktu. Bulan
lalu terjadi pembantaian PKI besar-besaran di Bali. Media tidak berani meliput.
Soeharto menjadikan PKI dan antek-anteknya macam musuh bebuyutan. Bahkan Gie
mesti pikir panjang untuk menerbitkan surat kabarnya yang bicara tentang
pembantaian itu. Dan entah kenapa, aku malah yakin kalau ayah dan ibu termasuk
dalam korban di Bali. Memang belum dikonfirmasi, tapi rutan sudah kosong.
Kuharap kamu tetap tenang dan sabar disana. Aku juga sempat diinterogasi.
Mereka menanyakan apa saja keseharianmu disini. Dan apakah aku mengenal ayah
dan ibu.
Saat
diinterogasi, aku bisa mendengar jeritan, teriakan, dan suara cemeti menghantam
kulit. Jakarta sudah menjadi neraka. Doakan kami. Dan aku mohon, balas surat-suratku segera. Aku
rindu.
Adikmu,
Herman
Lantang
(cuplikan surat di novel Pulang)
Mataku
berkaca-kaca. Sudah setahun aku pindah ke Paris. Dengan waktu selama itu,
semestinya sudah terbiasa bagiku membaca surat-surat dari Herman. Namun entah
kenapa, tetap saja hatiku terasa diremas dan air mata dipaksa jatuh setelahnya.
Hanya aku yang diungsikan ke tempat lain. Herman tidak. Ia bisa menggunakan
alasan anak adopsi untuk cuci tangan dari nama keluargaku. Dan pemerintah hanya
akan mengenalnya sebagai seorang aktivis demo yang aktif naik podium sambil
berteriak menyuarakan aspirasi. Lantas sampai sekarang aku hidup
sembunyi-sembunyi dan tau keadaan Indonesia hanya dari surat-surat yang
dikirimkan Herman. Ada keinginan besar di sudut kecil hatiku menyalahkan ibu
dan ayah karena telah ikut campur tangan dengan partai komunis itu.
Menyebabkanku berakhir disini. Mirip pepatah; karena nila setitik, rusak susu
sebelanga. Tapi itu dulu, sebelum aku banyak merenung di pojok rak sastra
perpustakaan ini. Sebelum aku banyak melahap karya-karya Shakespeare dan kawan-kawannya. Sebelum aku begitu rindu dengan
aroma cengkih dan kunyit. Sebelum aku lupa bagaimana aroma kopi luwak. Karena
sebelum itu, aku belum tahu bahwa tanah airku menyimpan banyak rahasia yang
luput dari sejarah. Mereka menyembunyikannya. Mereka menguburnya. Kedalam dasar
samudera yang lebih dalam dari bangkai kapal titanic yang tenggelam.
Aku
mengembuskan napas lelah. Kepalaku tertoleh kearah jendela dibelakang.
Memandang madam-madam bertopi lebar menaiki sepeda di jalanan Paris. Dan dua pria
berbadan kekar berjaket hitam. MERDE.
Ya Tuhan, itu intel Indonesia yang ditugaskan di Paris. Astaga. Demi Tuhan,
setelah setahun aku bersembunyi, kenapa sekarang mesti ketahuan?! Aku
membelalak kaget, dia tadi menatapku. Badan yang lebih besar itu menunjuk-nunjuk kearah jendela yang
menyembunyikan tubuhku dibalik kacanya. Teman yang satunya langsung membuang
rokok dan bergerak cepat menyeberangi jalan. Aku tergugu. Napasku bertalu.
Dadaku macam dipukul-pukul palu. Astaga.... tidak. Tidak sekarang. Aku... aku
belum membalas surat-surat adikku.
Segera
saja aku beranjak gusar dan meninggalkan tempat duduk. Berlari menuju pintu
keluar. Kuhiraukan tapak sepatuku beradu kencang dengan lantai yang bisa
membuat pengunjung lain marah. Kuhiraukan banyak pasang mata yang memandang
aneh kearahku. Yang kupikirkan sekarang hanya bagaimana keluar dari
perpustakaan malapetaka ini agar tidak berakhir sama seperti paman, bibi, ibu
dan ayah. Adikku masih membutuhkanku. Aku masih ingin menjadi kakak baginya.
Tamat.
Sudah, bunuh saja aku disini. Pria yang tadi membuang rokok dengan tangannya
itu sudah menguasai pintu keluar. Berbalik, aku menemukan pria yang tadi
menunjuk-nunjuk berdiri di ujung rak sana. Sekarang tanpa celah. Napasku
memburu. Wahai semesta, berikan aku celah sedikit saja. Aku ingin membalas
surat-surat adikku. Aku ingin menemaninya mendaki gunung sepanjang liburan. Aku
ingin... aku ingin menemaninya duduk-duduk bersantai ditemani secangkir kopi
panas sambil berceloteh riang membahas pemerintah yang tidak ada habisnya. Aku
ingin membayar semua hariku yang kusia-siakan dulu bersamanya. Aku ingin
memberitahunya bahwa Indonesia belum benar-benar merdeka. Tanah air kita masih
dijajah. Dijajah penjajah yang menamai mereka pejabat dan bersembunyi dibalik
nama pemerintah.
*
Aku
tersentak. Wajahku berkeringat. Tanganku juga. Astaga... mimpi apa aku siang
bolong begini. Aneh sekali. Masih segar diingatanku madam-madam bertopi lebar
mengayuh sepedanya dan tersenyum manis madu padaku. Hanya itu saja, selebihnya
aku lupa. Oh ya, satu lagi, aku juga ingat saat preman-preman yang lebih mirip
preman kampung sebelah menunjuk-nunjuk kearahku lalu mereka mengejarku. Ya
Tuhan... bodohnya kenapa aku mesti lari? Aku tidak salah apa-apa kan?! Mimpi
sialan.
Mengecek jam merah muda yang melilit pergelangan tangan,
aku membelalak. Kali ini kesialan macam apa yang telah menimpaku, wahai Sang
Pencipta? Awalnya aku izin ke perpustakaan hanya untuk menuntaskan tugas
sejarah karena gurunya berhalangan hadir. Niatku hanya dua jam sampai istirahat
kedua. Tapi kebablasan sampai waktu lima belas menit sebelum pulang!
Cepat-cepat aku beranjak lalu merapikan buku paket sejarah dan buku tulis yang
kubawa secara asal. Aku langsung berlari
sampai pintu tanpa memedulikan sekitar. Dan karena sikap sok cuek bebekku itu,
akhirnya aku berhasil menghantam bahu seseorang lantas jatuh secara tidak
cantik di koridor perpustakaan.
Sial. Dewi fortuna
memang sengaja mengejekku.
Buru-buru
aku berangkat sambil menahan malu. Lalu memungut buku tulis dan buku paket sejarah
yang terbuka asal menampilkan bab dengan judul; Menumpas sejarah 1965 bersama
darah para Jenderal. GOD. Demi Tuhan. Aku sekarang ingat apa yang kumimpikan
barusan. Aku ingat. Aku ingat bendera PKI yang berkibar disamping rumahku. Aku
ingat anak adopsi yang bernama Herman Lantang. Aku ingat apa yang aku ucapkan
sebagai seorang Kenanga Mekarsari dihadapan intel Indonesia sebelum aku
terbangun dari mimpi.
“Tidak. Aku tidak kenal. Orangtuaku
hanya punya satu anak. Dan itu aku”. Itu adalah jawaban
Kenanga saat polisi menginterogasinya dan bertanya perihal Herman. Aku ingat,
aku ingat itu semua. Kenanga menyelamatkan adiknya. Sekaligus memberitahuku,
yang ia lakukan adalah bentuk manifestasi kasih tanpa batas. Renjananya untuk
Herman.
Lantas
aku menoleh pada seseorang yang kusenggol bahunya tadi. GOD. Mungkin kata sial
tidak bisa mendeskripsikan apa yang kualami saat ini. Untuk laki-laki bermata
hitam bagai arus mahadalam nan menenggelamkan dihadapanku ini, boleh tidak kalau
aku bilang; kamu mirip Herman. Herman Lantang adik tiri Kenanga. Herman yang
ada di mimpiku.
Ah, semesta memang suka bercanda, bukan?
~
Cerita terinspirasi dari;
1. Novel Helenina karya Lovita Cendana
2. Film Gie
3. Novel Pulang karya Leila S.Chudori
4. Sejarah kelam G-30 S/PKI





