Rabu, 16 Mei 2018

Dibalik 65

Diterbitkan oleh aurora's.effect


Renjana
aksararancu


            September, 1965

‘Ren-ja-na  n  rasa hati yang kuat (rindu, cinta kasih, berahi, dan sebagainya)’


            Kamus kututup dengan kasar. Lalu menjejalkannya dengan tiada beradab kedalam ransel. Haesh, sebab aktivis senior tadi berbicara tentang renjana, aku jadi penasaran. Dan dengan tidak malunya membuka kamus ditengah-tengah aktivis demo yang berapi-api. Mereka berteriak: ada yang memaki, ada yang menyemangati, ada yang menyumpah, ada yang menyerapah. Semuanya sudah kujadikan makanan sehari-hari dalam minggu ini. Saat aktivis yang berkoar-koar diatas podium turun, aku melangkah menjauh. Tidak sengaja menabrak bahu seseorang, aku lantas berbalik dan meminta maaf. Ia tak menjawab permintaan maafku, alih-alih berlalu pergi dengan cebikan dibibir. Aku tidak suka manusia. Tapi kamu juga manusia, malaikat diatas kepalaku memukulku dengan tongkatnya.

            Matahari bagai memimpin dunia lima meter diatas kepalaku. Aku berhenti dahulu, berteduh dibawah pohon akasia. Almameter kusampirkan dibahu, tanganku mengibas-ngibas. Ketika melihat siapa yang maju dan berdiri diatas podium, senyumku terangkat separo.

“Kita punya pemimpin, dan kita akui sebagai ‘bapak’ di negeri ini. Tapi bukan berarti dia punya kekuasaan absolut untuk menentukan nasib kita! Apalagi kalau kita sadar adanya penyelewengan dan ketidakadilan. Kita tidak bisa hanya menunggu, menunggu dan menunggu! Kita perlu perubahan! Dan satu-satunya cara adalah Soekarno harus jatuh!” (dialog Herman Lantang di film Gie) teriaknya disambut koor membahana dari semua aktivis demo. Aku menyeringai, tidak sadar sedari tadi mengamatinya tanpa kedip. Lalu memalingkan muka saat ia memandangku dari kejauhan.

Berbalik pergi tetiba aku dikagetkan bunyi tembakan meletus diudara. Semacam gerakan melambat mirip potongan adegan di film, aku kembali berbalik dan menemukan orang-orang lari pontang-panting kearahku. Aku terjatuh diserobot gerombolan demo. Almameter yang kusampirkan tadi jatuh mengenaskan. Sial. Hendak memungut almameter kebanggaan, tanganku diinjak dengan sadisnya. Aku macam semut yang tertindas. Tetiba ada yang mengangkat lenganku dari belakang. Kepalaku tertoleh, mendapati mata hitam dengan lautan didalamnya. Aku seakan diajak berenang dengan pusaran air yang berputar-putar ditengahnya. Ia menepuk pundakku dengan keras. Aku terkesiap, duniaku kembali pada orang-orang yang berlari, tembakan-tembakan yang menyelimuti, serta debu-debu aspal dan jalanan yang menari-nari. Lagi, letusan peluru terdengar lantang dibelakangku. Aku kembali menoleh pada sosok yang memegangi lenganku ini. Sosok yang sama dengan aktivis yang menyuarakan untuk Soekarno turun jabatan diatas podium tadi. Sosok yang sama yang telah mengambil kasih sayang ibu dan ayah. Ia berucap sesuatu, aku tidak tahu pasti, yang kudengar hanya tembakan, orang berteriak dan hentakan kaki yang beradu dengan jalanan. Yang pasti, dalam sekian detik, sosok ini sudah memapahku, membawaku berlari dari kejaran militer keparat itu.

Setelah merasa jauh berlari dan militer itu tidak lagi mengejar, aku berhenti. Merasa keki juga harus berlari-lari bersama seseorang yang dunia juga tahu betul aku membencinya. Ia pun turut berhenti dan mulai mengatur napas. Aku mendesah lalu mulai berjalan tanpa memedulikan napas yang tinggal satu-satu.

 “Kak” ia memanggil, namun aku merasa tidak sedang dipanggil. Sebab aku yang tiada kunjung berbalik atau sekadar menanggapi panggilannya, ia berlari dan menahan lenganku. Aku menepis dengan kasar. Ia memasang wajah terluka. Cih, aku tak peduli, aku tak sudi dipegang oleh orang yang berhasil membuatku jadi begini.

“Kenapa tidak mau pulang bersama?” tanyanya. Aku tetap mengatupkan bibir rapat. “Tidak sudi pulang bersama seorang anak adopsi?” lanjutnya lagi. Aku membenarkan dalam hati.

Sisa perjalanan hanya terdengar suaranya saja yang berceloteh riang kesana-kemari. Seakan tadi ia tidak berlari-lari sambil memapahku dari militer yang berhias pistol. Ia terus mengoceh walau nyatanya tahu kalau akan selalu kuabaikan. Pernah sekali aku menanggapi dengan kalimat sarkastik dan mengatainya anak kecil. Tapi memang asalnya ia seorang aktivis demo dan dengan senang hati menjawab, “Anak kecil mana yang berani meminta Soekarno turun jabatan, wahai Kakakku sayang?”

Sampai gerbang depan rumah, ia masuk terlebih dahulu. Aku diam saja. Tidak lagi melanjutkan langkah. Selain karena si adik tiri, ibu dan ayah juga turut andil mengubah perangaiku dalam sekejap. Ada satu lagi musabab. Kupandangi bendera merah yang terkibar disamping pagar ini. Bendera merah dengan lambang sebilah sabit dan palu. Bendera PKI.  

*
            Apabila ada yang bertanya kesedihan itu bentuk yang bagaimana, aku dengan sepenuh hati bersedia duduk manis ditemani secangkir kopi guna menjabarkannya. Ia adalah sebentuk perasaan gundah, tak tenang, gelisah yang bercokol dalam hatimu. Kesedihan tidak hanya bisa disebabkan oleh cinta, rindu atau bedebah lainnya. Bisa juga disebabkan oleh hal-hal sederhana. Semacam aku yang sedih bila ibu lebih rela membangunkan Herman terlebih dahulu dibandingku. Atau ayah yang lebih sudi mengantar Herman ke rumah teman dibanding menjemputku di sekolah. Atau pun aku yang sampai sekarang masih belum rela bila harus berbagi kasih sayang ayah dan ibu untuk adik tiriku. Sampai rasa sedihku kian membesar tatkala aku yang kini sudah jauh dari rengkuhan ibu pertiwi.

Aku mendadak terbangun kala ada yang menggedor-gedor pintu dengan brutal. Hari ini masih jam satu pagi, masih dini hari. Siapakah gerangan manusia tak punya malu yang bertandang ke rumah orang lain pagi-pagi begini? Dengan malas aku beranjak dari kasur lalu turun untuk membuka pintu. Ketika membuka pintu, hal pertama yang kutemukan adalah wajah panik Herman yang pucat pasi. Ia masih menggandeng ransel dipunggungnya. Tampilannya mencerminkan bahwa ia baru saja pulang dengan terburu-buru dari liburan pendakian gunung bersama teman-teman kampusnya. Menelisik kebelakang, aku menemukan Gie yang mengerutkan hidung lalu mengeratkan mantel ketubuh. Soe Hok Gie, salah satu aktivis demo yang aktif dalam penulisan artikel untuk mengkritik pemerintah. Aku memandang heran pada mereka berdua. Wajah panik Herman dan muka santai Gie yang begitu kontras. Ada apakah gerangan?

            “Ayah dan ibu dimana?” ia bertanya dengan napas terburu-buru. Aku menoleh pada Gie yang malah menaikkan alis tanda ia juga bertanya. “Dari kemarin belum pulang. Aku kira anak kesayangan diberitahu” jawabku sambil menekankan kata ‘anak kesayangan’.

            Ia mengangguk, “Sebentar lagi pasti akan pulang dan menyuruhmu pergi”. Air mukaku praktis berubah saat mendengar penuturannya. Lalu tanpa tedeng aling-aling, ia memegang lenganku kuat, “Semalam, para jenderal baru saja diculik”. Melihat wajahnya yang serius, aku tahu bahwa situasi ini lebih parah dari situasi genting.

Kepalaku  berkeliling mengabsen sekitar, menemukan rak yang diisi buku-buku memanjang. Banyak sekali, sampai-sampai aku dikelilingi. Aku menunduk guna menemukan buku tebal karangan Shakespeare tergeletak tak berdaya. Lalu aku menemukan secarik kertas di meja samping buku.



      Jakarta, September1967

      Untuk Kenanga Mekarsari,

     Kenanga, bagaimana kabarmu disana? Kuharap kamu masih makan dan tidur tepat waktu. Bulan lalu terjadi pembantaian PKI besar-besaran di Bali. Media tidak berani meliput. Soeharto menjadikan PKI dan antek-anteknya macam musuh bebuyutan. Bahkan Gie mesti pikir panjang untuk menerbitkan surat kabarnya yang bicara tentang pembantaian itu. Dan entah kenapa, aku malah yakin kalau ayah dan ibu termasuk dalam korban di Bali. Memang belum dikonfirmasi, tapi rutan sudah kosong. Kuharap kamu tetap tenang dan sabar disana. Aku juga sempat diinterogasi. Mereka menanyakan apa saja keseharianmu disini. Dan apakah aku mengenal ayah dan ibu.

     Saat diinterogasi, aku bisa mendengar jeritan, teriakan, dan suara cemeti menghantam kulit. Jakarta sudah menjadi neraka. Doakan kami.  Dan aku mohon, balas surat-suratku segera. Aku rindu.

Adikmu,
Herman Lantang
(cuplikan surat di novel Pulang)


Mataku berkaca-kaca. Sudah setahun aku pindah ke Paris. Dengan waktu selama itu, semestinya sudah terbiasa bagiku membaca surat-surat dari Herman. Namun entah kenapa, tetap saja hatiku terasa diremas dan air mata dipaksa jatuh setelahnya. Hanya aku yang diungsikan ke tempat lain. Herman tidak. Ia bisa menggunakan alasan anak adopsi untuk cuci tangan dari nama keluargaku. Dan pemerintah hanya akan mengenalnya sebagai seorang aktivis demo yang aktif naik podium sambil berteriak menyuarakan aspirasi. Lantas sampai sekarang aku hidup sembunyi-sembunyi dan tau keadaan Indonesia hanya dari surat-surat yang dikirimkan Herman. Ada keinginan besar di sudut kecil hatiku menyalahkan ibu dan ayah karena telah ikut campur tangan dengan partai komunis itu. Menyebabkanku berakhir disini. Mirip pepatah; karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Tapi itu dulu, sebelum aku banyak merenung di pojok rak sastra perpustakaan ini. Sebelum aku banyak melahap karya-karya Shakespeare dan kawan-kawannya. Sebelum aku begitu rindu dengan aroma cengkih dan kunyit. Sebelum aku lupa bagaimana aroma kopi luwak. Karena sebelum itu, aku belum tahu bahwa tanah airku menyimpan banyak rahasia yang luput dari sejarah. Mereka menyembunyikannya. Mereka menguburnya. Kedalam dasar samudera yang lebih dalam dari bangkai kapal titanic yang tenggelam.

            Aku mengembuskan napas lelah. Kepalaku tertoleh kearah jendela dibelakang. Memandang madam-madam bertopi lebar menaiki sepeda di jalanan Paris. Dan dua pria berbadan kekar berjaket hitam. MERDE. Ya Tuhan, itu intel Indonesia yang ditugaskan di Paris. Astaga. Demi Tuhan, setelah setahun aku bersembunyi, kenapa sekarang mesti ketahuan?! Aku membelalak kaget, dia tadi menatapku. Badan yang lebih besar itu  menunjuk-nunjuk kearah jendela yang menyembunyikan tubuhku dibalik kacanya. Teman yang satunya langsung membuang rokok dan bergerak cepat menyeberangi jalan. Aku tergugu. Napasku bertalu. Dadaku macam dipukul-pukul palu. Astaga.... tidak. Tidak sekarang. Aku... aku belum membalas surat-surat adikku.

Segera saja aku beranjak gusar dan meninggalkan tempat duduk. Berlari menuju pintu keluar. Kuhiraukan tapak sepatuku beradu kencang dengan lantai yang bisa membuat pengunjung lain marah. Kuhiraukan banyak pasang mata yang memandang aneh kearahku. Yang kupikirkan sekarang hanya bagaimana keluar dari perpustakaan malapetaka ini agar tidak berakhir sama seperti paman, bibi, ibu dan ayah. Adikku masih membutuhkanku. Aku masih ingin menjadi kakak baginya.

Tamat. Sudah, bunuh saja aku disini. Pria yang tadi membuang rokok dengan tangannya itu sudah menguasai pintu keluar. Berbalik, aku menemukan pria yang tadi menunjuk-nunjuk berdiri di ujung rak sana. Sekarang tanpa celah. Napasku memburu. Wahai semesta, berikan aku celah sedikit saja. Aku ingin membalas surat-surat adikku. Aku ingin menemaninya mendaki gunung sepanjang liburan. Aku ingin... aku ingin menemaninya duduk-duduk bersantai ditemani secangkir kopi panas sambil berceloteh riang membahas pemerintah yang tidak ada habisnya. Aku ingin membayar semua hariku yang kusia-siakan dulu bersamanya. Aku ingin memberitahunya bahwa Indonesia belum benar-benar merdeka. Tanah air kita masih dijajah. Dijajah penjajah yang menamai mereka pejabat dan bersembunyi dibalik nama pemerintah.

*

Aku tersentak. Wajahku berkeringat. Tanganku juga. Astaga... mimpi apa aku siang bolong begini. Aneh sekali. Masih segar diingatanku madam-madam bertopi lebar mengayuh sepedanya dan tersenyum manis madu padaku. Hanya itu saja, selebihnya aku lupa. Oh ya, satu lagi, aku juga ingat saat preman-preman yang lebih mirip preman kampung sebelah menunjuk-nunjuk kearahku lalu mereka mengejarku. Ya Tuhan... bodohnya kenapa aku mesti lari? Aku tidak salah apa-apa kan?! Mimpi sialan.

            Mengecek jam merah muda yang melilit pergelangan tangan, aku membelalak. Kali ini kesialan macam apa yang telah menimpaku, wahai Sang Pencipta? Awalnya aku izin ke perpustakaan hanya untuk menuntaskan tugas sejarah karena gurunya berhalangan hadir. Niatku hanya dua jam sampai istirahat kedua. Tapi kebablasan sampai waktu lima belas menit sebelum pulang! Cepat-cepat aku beranjak lalu merapikan buku paket sejarah dan buku tulis yang kubawa secara asal.  Aku langsung berlari sampai pintu tanpa memedulikan sekitar. Dan karena sikap sok cuek bebekku itu, akhirnya aku berhasil menghantam bahu seseorang lantas jatuh secara tidak cantik di koridor perpustakaan.

Sial. Dewi fortuna memang sengaja mengejekku.

Buru-buru aku berangkat sambil menahan malu. Lalu memungut buku tulis dan buku paket sejarah yang terbuka asal menampilkan bab dengan judul; Menumpas sejarah 1965 bersama darah para Jenderal. GOD. Demi Tuhan. Aku sekarang ingat apa yang kumimpikan barusan. Aku ingat. Aku ingat bendera PKI yang berkibar disamping rumahku. Aku ingat anak adopsi yang bernama Herman Lantang. Aku ingat apa yang aku ucapkan sebagai seorang Kenanga Mekarsari dihadapan intel Indonesia sebelum aku terbangun dari mimpi.

“Tidak. Aku tidak kenal. Orangtuaku hanya punya satu anak. Dan itu aku”. Itu adalah jawaban Kenanga saat polisi menginterogasinya dan bertanya perihal Herman. Aku ingat, aku ingat itu semua. Kenanga menyelamatkan adiknya. Sekaligus memberitahuku, yang ia lakukan adalah bentuk manifestasi kasih tanpa batas. Renjananya untuk Herman.

Lantas aku menoleh pada seseorang yang kusenggol bahunya tadi. GOD. Mungkin kata sial tidak bisa mendeskripsikan apa yang kualami saat ini. Untuk laki-laki bermata hitam bagai arus mahadalam nan menenggelamkan dihadapanku ini, boleh tidak kalau aku bilang; kamu mirip Herman. Herman Lantang adik tiri Kenanga. Herman yang ada di mimpiku.

Ah, semesta memang suka bercanda, bukan?

~

Cerita terinspirasi dari;
1. Novel Helenina karya Lovita Cendana
2. Film Gie
3. Novel Pulang karya Leila S.Chudori
4. Sejarah kelam G-30 S/PKI


Terimakasih sudah membaca











 

Tulisan Rancu Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review