BIDAK CATUR
aksararancu
Pembaca yang baik,
Mari dengarkan ceritaku ini. Duduklah dengan nyaman. Kalau perlu, seruput kopimu lamban-lamban. Hirup udara pagi ini dengan dalam dan tenang. Buat harimu senang sesenang senangnya senang. Maka kau akan tahu, tiada pagi yang lebih indah dari aroma kopi ditemani secarik ceritaku ini.
Detik ini kerajaanku akan bertempur habis-habisan. Mungkin setara dengan pertempuran pandawa melawan kurawa yang diceritakan kitab semahsyur Mahabharata. Tak ada yang perlu kusiapkan—kecuali mental. Aku dan teman-teman pun tidak diperkenankan membawa senjata. Hanya tangan hampa. Sang ratu disiapkan penjagaannya, perdana menteri menyusun rencana serta strategi-strategi dan bedebah lainnya. Aku tak peduli. Mereka tidak akan mengajakku untuk ikut serta dalam strateginya. Karena selain mental, aku tak (berhak) punya apa-apa.
Seorang prajurit berkuda hitam menghampiriku, senyumnya mencemooh, “Siapkanlah tanah untuk kematianmu”. Ia menepuk pundakku dari atas kuda yang dinaikinya keras-keras.
“Kamu hanya perlu maju” seseorang disamping kanan si prajurit berkuda berucap. Oh, ternyata si penikung ulung. Dia membawa tombak yang ujungnya lebih runcing dari jarum. Ia hanya bisa menyerang dengan sudut lancip, menyerong, menikung. Itulah sebabnya di kerajaan, jika ada sepasang kekasih putus cinta, prajurit bertombak ini yang akan menjadi sasaran empuk.
Sedang, si prajurit berkuda hanya mampu mengacu kudanya sejauh empat meter. ‘Ya, aku hanya perlu maju, tidak mundur, lagipula ini bukan lomba tarik tambang, bukan?’ sisi mulut belatiku muncul.
“Semuanya siap!!!” perdana menteri berteriak lantang nan keras. Sang ratu yang berdiri anggun disampingnya tersenyum. Bibirnya semerah kelopak mawar. Rona pipinya seakan menusuk mataku, dan yang kurasa hanya perih, sampai-sampai aku takut untuk berkedip barang sekali. Perdana menteri itu menggenggam erat tangan sang ratu. ‘Hei, Sang ratu tidak berniat menyeberang jalan. Lepaskan tanganmu itu wahai menteri yang mulia’, lagi-lagi, sisi belatiku muncul.
Kalau berani, aku dan kawan-kawan bisa lari sejauh dua meter untuk langkah pertama. Sekali lagi, Kalau berani. Dan aku bisa saja menghabisi lawan yang posisinya diagonal dihadapanku, kalau aku mampu. Karena kami harus bertarung dan menentukan siapa yang pantas untuk maju satu langkah ke depan. Bertarung dengan tangan kosong.
“Majulah” perdana menteri menyuruhku untuk maju. Langkah pertama, aku berlari sejauh dua meter. Dan enggan melihat kebelakang lagi. Padahal, dari belakang aku mendengar sorak sorai temanku, mengatakan bahwa; aku jangan jauh-jauh dari sang ratu, aku harus menjaga sang ratu, menjadi benteng baginya, bahwa aku berlagak berani, sekejap lagi juga mati. Masa bodoh dengan kata-kata mereka, aku menulikan telingaku.
“Kita harus menjaga sang ratu, jangan sampai diculik oleh lawan”
Aku mendengarkan temanku berpidato. ‘Bicaralah sepuasmu, sebelum mulutmu dilobangi tombak runcing si prajurit penikung’. Ya, tugas kami hanya menjaga sang ratu. Entahlah, aku tak tahu, sang ratu seperti mengenakan kimono dari Jepang, sampai-sampai jalannya hanya satu-satu.
Sang lawan memberikan perlawanan, prajurit berkuda putih mengacu kudanya. Si kuda berlari dengan kaki ditingkahi tungkainya yang begitu kokoh. Seringai kudanya mengintimidasiku. Tatapannya bagai mengulitiku hidup-hidup. Perdana menteri menyuruh temanku maju satu meter, agar bisa memberi tempat untuknya menyerang.
Lalu aku tak dengar apa-apa lagi. Fokusku hanya tertuju pada ratu kerajaan lawan. Dahagaku seperti tersirami air dari cahaya matanya. Ah, sinar rembulan pasti cemburu dengan matanya. Begitu lembut. Bibirnya lebih merah dari kelopak mawar. Rona pipinya bukan lagi menusuk mataku, tapi membutakan. Hingga aku hanya menjadikannya sebagai objek satu-satunya yang bisa kulihat.
Akan sangat mustahil jika diriku yang tak lebih berguna dari jarum ini bisa menyusuri sedalam apa laut matanya. Ah, matanya itu... aku seperti melihat surga lengkap dengan bidadarinya.
Tangan itu pasti selembut pualam, aku pernah menyentuhnya, menggenggamnya, bahkan menciumnya. Besoknya, Ibuku terkapar di halaman depan kerajaan, tangannya terpotong, sedang dicabik-cabik dan digerogoti anjing.
“Hei, bodoh!! Kenapa berdiam diri saja?! Umpankan dirimu untuk membuka pertahanan mereka!!!” perdana menteri berseru padaku. Sungguh teganya! Menganggu kesyahduan hubungan mataku dengan bidadari yang baru turun dari swargaloka.
“Majulah” ucap seorang prajurit berkuda hitam dengan tapak kuda dan ekor putih. Oh, ternyata dia sudah berada dibelakangku. Sejak kapan? Betapa besarnya pengaruh rona pipi sang ratu berbibir kelopak mawar itu.
Aku berlari sejauh satu meter. Ah bidadari berwangi swargaloka, tunggu aku. Aku akan mencicipi sebersih apa sinar matamu. Tunggu aku, dua meter lagi.
Kulihat sekelilingku, banyak darah bersimbah di tanah gersang ini. Perdana menteri kami sobek lengannya, seperti tersayat tombak runcing si prajurit penikung. Ada lagi prajurit yang membawa tameng sekuat dan sekeras benteng kerajaan. Uh, tamengnya bengkok, tangan kirinya memerah. Kulihat lagi teman sepernasibku yang berdiri dihadapan sang ratu. Wajahnya... lebih hancur dari bubur. Sungguh, aku tak ingin menambah dosa, tapi entah mengapa aku ingin tertawa sekarang. Melihat wajahnya yang lebih hancur dari bubur itu, melihat senyumnya yang seakan mengatakan bahwa; ‘aku inilah makhluk paling mulia diantara lainnya, yang melindungi sang ratu dengan penuh jiwa dan raga, walaupun mati aku pasti masuk surga’.
Kulihat lagi kebelakang, teman buburku itu sudah tidak terbentuk lagi mukanya separo. Masih setia melindungi sang ratu yang tetap tersenyum anggun, seakan menertawakan bagaimana temanku memosisikan dirinya macam sahaya.
Baiklah. Aku sudah terbahak sekarang.
“Aaaaa.......!!!” semua prajurit histeris. Ah, tombak runcing si prajurit penikung berhasil menyobek—bukan lagi lengan tapi leher perdana menteri! Sebenarnya aku harus menangis, tapi entah mengapa aku sudah terbahak sekarang. Lehernya bergoyang-goyang, seperti ingin mengucapkan selamat tinggal. Sebelum akhirnya ia tumbang, si prajurit penikung yang menghantamkan tombaknya berbicara padaku, “Itulah akibat karena ingin merusak kontruksi bangunan yang terlanjur disemen, runtuh dan terluka”.
Omong-omong, aku heran, kenapa sampai saat ini aku masih baik-baik saja?
Wajahku pias, bukan karena perdana menteri, tapi karena ada prajurit berbadan kekar menghalangi jalan diagonalku. Ya Dewa, aku sulit menelan saliva. Ia tersenyum miring, jenis senyum yang menyimpan banyak kebusukan.
Tolong, jika ini akhirku, ucapkan pada sang ratu lawan; kalau matanya lebih indah dari rembulan, kalau bibirnya lebih merah dari kelopak mawar, lebih ranum dari buah matang, kalau kulitnya yang seputih kapas itu pasti lebih halus dari pualam.
Tolong, sampaikan.
Dan... inilah akhirku
—eh, prajurit itu melewatiku begitu saja? Aku... aku harus bahagia atau kecewa? Apa dia pikir aku ini tidak ada gunanya sama sekali? Cih, sombong.
“Hei!! Kamu memang tidak ada gunanya. Prajurit berkuda itu saja tidak mau menghabisimu. Karena dia tahu, makhluk sekecil kamu ini tak akan bisa berbuat apapun. Menghabisi tenaga dengan sia-sia. Sudahlah, pasrahkan saja dirimu. Eh, tunggu dulu, bertahanlah hidup agar kamu bisa melihatku membawa sang ratu lawan pulang ke kerajaan” Ekor kuda hitamnya bergoyang seperti hendak menghabisi kulit wajahku. Sial!
Kuambil kesempatan dalam kesempitan, sedikit curang boleh, kan? Tanpa menunggu perintah, aku langsung berlari dua meter. Sang ratu terkejut saat melihatku diagonal dihadapannya. Kupegang tangannya, ah lebih halus dari pualam. Seperti... sutra! Iya, sutra. Wanginya lebih wangi dari swargaloka. Yang lain hanya bisa melihatku dengan mata yang melotot kebukaan maksimal. Aku ingin katakan, ‘jangan remehkan semut yang berjalan merayap dilenganmu, karena sewaktu-waktu, ia bisa saja melukai kulitmu. Teruntuk teman sepernasibku, berhentilah memandang dirimu kecil. Kalau ingin menenteng beras lima kilo, kau harus bisa jadi dua bahkan tiga kali lipat darinya’ tapi, cahaya yang sedang bersinar dihadapanku ini lebih menarik untuk membuatku tertarik.
“Lihat, sudah kubilang, semut selalu menang dari gajah”
***
Entah ku buram dengan arti cerita ini. Terimakasih sudah membaca,