Kamis, 26 Juli 2018

Aku si seekor nyamuk

Diterbitkan oleh aurora's.effect
Anak Kecil Dan Seekor Nyamuk Yang Bertanya Mengapa Dirinya Penghisap Darah
aksararancu
  Aku terbangun tatkala bunyi kecipak-kecipuk air mengganggu indera pendengaranku. Mataku menjaring ibu yang tengah berdiam diri memantau cerminannya di air. Aku bergerak lihai, menggoyang-goyangkan badanku hingga berhasil sampai dihadapan ibu. Ibu memandangku, dua bola matanya yang menonjol itu seperti bola cahaya yang siap keluar dari cangkangnya. Masih kuamati sampai sehelai sisik ibu jatuh dengan gerakan halus lalu tergenang diair. Ibu tidak bereaksi apa-apa selain bola matanya yang berkedap-kedip dengan teratur. Aku menghirup udara melalui dua pipa yang tumbuh melewati pupa yang menyelimutiku ini. Beberapa waktu yang lalu pupaku sudah berganti kulit. Sekarang aku adalah nyamuk dengan kepompong pupa yang cukup dewasa.
  Kuamati sendiri diriku ini, antena sudah sedia, belalai runcing ini sudah sangat menanti untuk digunakan, kaki, dada, sayap, perut... aahh perkenalkan; aku adalah nyamuk betina yang tidak cacat. Kepompong pupaku sudah sobek atasnya, mari bersabar menunggu setengah jam lagi untuk penerbangan perdanaku. 
  Semakin berjalannya waktu, imajinasiku makin bertingkat. Bagaimana ya rupa manusia. Apa madu dan sari bunga semanis yang ibu ceritakan? Apa semakin banyak darah yang kuhisap, tubuhku akan semakin sehat? Baiklah, nanti saja membahas ini. Aku harus siap dan penuh sedia untuk penerbangan perdanaku. Sebab katanya, tingkat ketika nyamuk yang telah lengkap ini adalah tingkat yang paling membahayakan. 
  Aku harus keluar dari air tanpa berkontak fisik dengan cairan itu. Tentu saja kecuali kaki-kakiku yang harus menyentuh permukaan air. Aku harus hati-hati, angin tipis saja bisa menyebabkan kematianku.
Dan..
Oke, kamu lihat? Barusan adalah momen bersejarah untuk yang pertama kalinya dalam hidupku. Seharusnya ibu melihat ini. Melihat salah satu dari ratusan anaknya yang berhasil terbang untuk pertama kali.
  Sayapku mengepak-mengepak, mencipta bunyi sehalus angin yang terdengar indah dipendengaranku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku menjadi seekor nyamuk yang tidak cacat, tersenyum memandangi sayapku yang makin lama makin menawan saja kepakannya. Aku berhenti,singgah sebentar diatas pojokan lemari gelap dalam ruangan yang entah punya siapa. Lalu mataku yang bulat menangkap bocah kecil tertidur dengan mulut menganga. Dia pulas dan damai. Aku sempat berpikir, apa waktu masih menjadi larva tidurku sedamai itu?
  Kembali terbang menuju kearah bocah itu, aku berputar-putar diatas wajahnya. Lalu turun untuk kembali memutar dengan gerakan acak mengelilingi telinga. Ketahuilah, spesies kami sangat suka tempat gelap dan lembab seperti lebah yang suka tempat penuh nutrisi gula. Aku mencipta bunyi serupa dengung sambil tetap mengepakkan sayapku dengan lincah. Bosan karena terus terbang, aku mendarat dipuncak hidungnya. Ada tahi lalat kecil diatas hidungnya yang pas sekali ditutupi kaki hitam bergaris-garis putihku ini. 
  Aku terus memandangnya, seperti aku memandang ibuku. Kuamati alis tebal-tipis itu. Bulu mata yang porsinya mungkin sama dengan tungkai kakiku. Kelopaknya terbuka, mengekspos bola mata yang gelapnya lebih terang dari pojokan atas lemari pijakanku tadi. Ia melihatku. Tetiba aku merasakan pergerakan angin dari tangannya. Dengan sigap aku terbang sebelum nyamuk betina yang  belum pernah menghisap darah ini berakhir menyedihkan ditangan anak kecil itu. Agak menjauh, mata besarku ini masih melihat dia yang tetap menatapku. Mata bulatnya kelihatan kesal. Ia menipiskan bibir, membuat cekungan kecil manis hinggap disebelah kanan pipinya. Ia berkedip sekali. Aku... lupa diri.
***
  Entah sudah keberapa kalinya bumi berotasi. Seberapa pun lamanya, seberapa pun cepatnya, tak akan mengubah kedua sayapku ini menjadi sepasang tangan manusia. Tak akan mengubah kedua bola mata besarku ini menjadi sepasang bola cahaya yang terlalu bersinar seperti diseberang sana. Ia sedang menyantap sereal paginya. Kedua bola cahaya yang terlalu bersinar itu menatap kosong botol minum yang isinya sudah habis setengah. Lalu ia mengunyah. Aku malah memperhatikan lesung kecil dipipi kanannya yang terlalu indah. 
  Sayapku bergerak mengantarkanku untuk semakin dekat dengannya. Awalnya baik-baik saja, sampai salah satu temanku yang sedang dtumbuhi benih itu melewatiku dan dengan gerakan yang sangat hati-hati serupa lebah yang takut merusak benang sari bunganya, ia hinggap di permukaan tangan kiri si lesung manis. Aku tertegun. Aku tahu, nyamuk betina perlu masukan protein untuk perkembangan benih. Tapi, apa mesti dia?
Aku menghampiri secepat yang kubisa. Terlambat. Tangan kiri si lesung manis sudah terangkat perlahan. Parahnya, temanku tidak menyadari, malah sibuk menghisap darah si lesung manis dengan mulutnya yang runcing itu sampai tuntas. Aku berhenti. Menyadari sebentar lagi akan kehilangan teman entah untuk yang keberapa. 
  Si lesung manis menatap temanku yang hinggap dengan santai di permukaan tangan kirinya. Si bodoh itu pura-pura mati rasa untuk merasakan pergerakan angin disekitar. Kedua bola cahaya itu kembali mengilat dengan sangat istimewa. Bibirnya maju menyerbu angin untuk mengusir temanku tanpa menyakitinya. Ia berkedip sekali, lalu mengalihkan perhatiannya kedepan yang keparatnya pas sekali dengan posisiku. Ia mengurai senyum menciptakan lesung manis yang entah sudah dimasukkan berapa kilo sari bunga. Ia kembali berkedip. Lagi. Aku... lupa diri.
***
  Tak perlu terkejut, diriku sekarang sedang mengandung benih. Aku akan menjadi ibu nyamuk. Benihku perlu protein, nutrisi saja tak cukup untuk perkembangannya. Tapi sekarang disinilah aku. Malah mengamatai si lesung manis yang sedang menangis. Ia sendirian. Kedua bola cahaya itu entah kenapa bisa terlihat redup saat ini. Aku menghampirinya, hinggap di vas bunga persis didepan si lesung manis. Tetiba perutku bergejolak. Semacam dipelintir dan diperas setelahnya. Benihku yang isinya ratusan telur itu pasti kelaparan. Kalau seperti ini, aku harus cepat bergegas mencari darah. Sayapku hendak mengepak sebelum tungkai-tungkai kakiku lemas untuk berdiri. Kalau begini, tamat saja riwayatku. Aku tak akan mampu lagi terbang terlalu jauh. Sedang disini, tidak ada protein yang mesti kukonsumsi. Kecuali...
  Si lesung manis berhenti menangis. Ia menatapku yang terbang terseok-seok menghampirinya lalu hinggap dilututnya yang terbuka. Aku berusaha melawan, tapi benihku butuh makan. Semesta terlalu jahat untuk menakdirkanku seperti ini. Mulut runcingku sekarang sudah tertancap dipermukaan lututnya yang depannya terdapat sedikit luka gores. Memberanikan diri untuk menatap kearahnya. 
Semesta, kuberitahu padamu; kunang-kunang pasti terkecoh, matanya dan cahaya sangat mirip. 
Semesta, mari berjanji padaku; dikehidupan setelahnya jangan jadikan aku penghisap darah.
Si lesung manis berkedip sekali. Kali ini... aku tak mau lagi lupa diri.
Ps: awalnya mau kukasih nyamuk jantan, tapi apalah dayaku yg baru tau kalau nyamuk jantan gak nyedot darah😌 terimakasih wikipedia

Dan untuk dirimu yang telah membaca cerita yang kembali tidak jelas ini, terimakasih,

 
 

Tulisan Rancu Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review